MAKALAH PERILAKU MANUSIA DAN
LINGKUNGAN
‘’ Tahap
Sekolah’’
Disusun oleh:
- Afrian Arry Nagoro
SEMESTER 3
JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Tahap Sekolah.
Maksud dan
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Manusia dan Lingkungan
Sosial, di samping itu juga untuk menambah serta memperluas ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang Lingkungan Sosial di masa sekarang dan di
masa yang akan datang.
Terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini di masa
mendatang.
Tangerang Selatan,
2 Desember 2019
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada
dasarnya sekolah merupakan salah satu sarana untuk membantu anak tumbuh optimal
secara fisik, kognitif, dan emosional. Banyak program belajar dan visi serta
misi dari sekolah yang menawarkan jasa sehingga anak yang disekolahkan
benar-benar dapat memperoleh manfaat yang positif. Kegiatan pembelajaran akan tercapai
hasil yang optimal, apabila guru dapat memilih metode yang tepat, kemudian
melaksanakannya dengan teknik-teknik penyampaian yang baik. Termasuk dalam
pembelajaran pengembangan motorik halus anak perlu disampaikan dengan tepat dan
dilaksanakan dengan teknik penyampaian yang baik. Setiap anak memiliki
karakter, perkembangan, dan lingkungan yang berbeda. Tidak ada teori yang
menyebutkan dengan tepat kapan anak harus mulai bersekolah. Semua tergantung
dari kesiapan anak tersebut.
Hasil
penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli
pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, menunjukan bahwa
pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50%, hingga
usia 8 tahun mencapai 80%. Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak
mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang
secara optimal. Beberapa orang menyebut fase atau masa ini sebagai golden age karena masa ini sangat
menentukan seperti apa mereka kelak jika dewasa baik dari segi fisik, mental,
maupun kecerdasan. Sedangkan hakikat usia dini adalah individu yang unik dimana
ia memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif,
sosioemosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus yang sesuai dengan
tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. Dari berbagai definisi,
peneliti menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia 0-8 tahun
yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perubahan fisik yang terjadi pada anak dalam tahap sekolah?
2. Bagaimana
perkembangan kognitif yang terjadi pada anak di masa sekolah?
3. Bagaimana
anak mendapat identitas dirinya?
4. Kompetensi
apa saja yang didapatkan anak?
5. Bagaimana
hubungan anak tersebut dengan keluarganya di tahap sekolah?
6. Bagaimana
hubungan sang anak dengan teman sebayanya?
7. Apa
saja contoh kasus dan isue kritis yang terjadi di kalangan remaja?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Perubahan Fisik
Perkembangan yang dapat dilihat secara
fisik seorang anak dikatakan berkembang karena terdapatnya atau terlihatnya
suatu perubahan yang terjadi pada pola pikir, tinggi badan, dan berat badan.
Seorang anak pada masa usia sekolah dasar memiliki ukuran tubuh yang tidah bisa
di perkirakan, hal ini terjadi karena bentuk tubuh yang di milikinya bisa jadi
adalah factor keturunan ataupun factor penyakit yang terjadi semenjak ia lahir.
Tetapi hal tersebut
dapat dilihat selama memulai masuk usia 6 tahun sampai pada usia 12 tahun saat
ia sudah bukan anak dengan usia sekolah. Dan hal tersebut dapat dilihat dari
usia sebagai berikut: usia masuk SD dimana anak baru akan memulai berada dalam
masa peralihan dengan dari fase pertumbuhan yang lebih cepat namun memiliki
fase perkembangan yang lebih lambat. Bentuk tubuh anak pada usia ini masih
memiliki ukuran yang sangat kecil selama menjalani masa usia sekolah dasar.
Pada usia 9 tahun berat
badan ataupun tinggi badan yang ada pada perempuan maupun laki-laki adalah
sama. Namun sebelum berusia 9 tahun tinggi badan perempuan sedikit lebih
pendek di bandingkan dengan laki-laki,
dan berat badan laki-laki dengan perempuan sebelum memasuki usia 9 tahun
laki-laki memiliki berat badan lenbih besar dibandingkan dengan perempuan.
Pada kelas 4 atau
dengan usia 10 tahun, anak perempuan memiliki masa pertumbuhan yang lebih pesat
di banding kan dengan laki-laki, dapat dilihat dari pertumbuhan lengan dan
kaki. Pada usia 11 tahun atau pada akhir kelas lima SD, pada masa ini perempuan
memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi dan lebih berat di bandingkan dengan
laki-laki karena pada usia ini laki-laki baru akan mengalami perkembangan atau
pertumbuhan pada dirinya.
2. Perkembangan Kognitif
Jika dilihat secara kodrat, manusia selalu
ingin mendidik keturunannya di setiap tahapan umur dari mulai janin, bayi,
balita, kanak kanak, remaja, dewasa hingga usia laut. Anak anak akan mulai
masuk ke tahapan yang sudah cukup mengerti serta memahami sesuatu dan juga bisa
paham tentang sesuatu yang baik dan yang buruk.
Dalam
tahapan ini, seseorang sedang menggali potensi yang ada di dalam dirinya dalam
rangka mencapai kematangan pada saat orang tersebut beranjak dewasa. Akan
tetapi, emosi dalam psikologi yang dimiliki anak anak terkadang
masih labil sehingga harus diarahkan agar tidak terjerumus pada sesuatu yang
bisa merugikan diri sendiri dan orang lain di sekitar.
Perkembangan
kognitif sendiri bisa didefinisikan suatu perubahan yang terjadi pada diri
seseorang sebagai hasil dari proses belajar dan sudah disesuaikan dengan
kondisi perkembangan kognitifs siswa. Supaya lebih jelas, berikut akan kami
berikan penjelasan tentang perkembangan kognitif pada masa sekolah
selengkapnya.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan kognitif Masa Sekolah
Pola
perkembangan termasuk perkembangan kognitif sosial setiap anak berbeda beda, banyak
dan juga luas perkembangan pada setiap fase yang dilalui juga berbeda beda
seperti pola perkembangan jasmaniah dan rohaniah yang tidak sama dalam
cepatnya.Bisa lebih cepat perkembangan rohaniah namun belum tentu segi rohaniah
juga bisa berkembang lebih cepat. Ada beberapa faktor yang bisa berpengaruh
pada perkembangan kognitifs, yaitu:
- Faktor Nativisme
Aliran atau teori nativisme dipelopori
oleh Schopenhover dan beberapa tokoh lain seperti Plato, Lombroso dan
Descrates. Aliran ini dengan ekstrim menyatakan jika perkembangan manusia
semuanya ditentukan dari faktor bawaan sejak lahir dan berpengaruh pada perkembangan emosi anak usia dini.
Ketika
terjadinya konsepsi yakni proses pembuahan sel telur dari sel jantan,
maka seorang anak akan mewarisi pembawaan dari kedua orang tuanya dan menjadi
potensi tertentu.Jika disimpulkan, aliran nativisme menyatakan baik dan buruk,
berhasil atau tidaknya perkembangan individu akan tergantung dari pembawaan
lahir setiap orang.
Para
ahli dalam teori tersebut mempertahankan kebenaran konsepsi dengan
memperlihatkan banyak kemiripan antara orang tua dan anak anak mereka.Memang
benar jika ada banyak kesamaan, namun untuk kesamaan orang tua dan anak anak
hanya didasari pembawaan dari lahir atau karena dorongan rangsangan atau karena
fasilitas luar faktor pembawaan masih dipertanyakan.Namun para kaum nativisme
masih tetap dengan pendirian karena menganggap jika perkembangan hanya wujud
unsur pembawaan saja.
- Faktor Empirisme
Faktor atau paham empirisme tokoh utamanya
adalah John Locke dimana dalam teori ini secara ekstrim menekankan pada
pengaruh lingkungan, teori ini berpendapat jika lingkungan yang menjadi penentu
seseorang dan sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau psikologi
pendidikan.
Dari
pendapat tersebut bisa dipahami jika teori ini lebih mengutamakan pengaruh
lingkungan atau pendidikan dalam perkembangan kognitif pada masa sekolah. Teori
ini mengutamakan tentang pembawaan yang tidak berperan sama sekali pada proses
perkembangan manusia. Menurut kaum empiris, lingkungan yang menentukan adalah
yang Maha Kuasa ketika menentukan perkembangan pribadi seseorang.
Untuk
itulah dalam ilmu pendidikan, teori ini disebut dengan aliran pendidikan
pedagogik optimisme yang artinya pendidikan maha kuasa akan membentuk atau
mengembangkan kepribadian seseorang. Pendidikan menjadi sarana individu untuk
melakukan proses belajar dan dari proses tersebut, manusia juga akan mengalami
perubahan atau perkembangan baik jasmani atau rohani yang dalam ilmu pendidikan
mencakup psikologi kognitif, afektif dan juga psikomotorik.
Namun
yang menjadi masalah adalah apa benar lingkungan atau pendidikaanmenjadi
penentu perkembangan seorang dan hal tersebut sangat ironi sebab ada orang yang
mempunyai lingkungan atau pendidikan baik sehingga disebut orang terpelajar
namun tidak mengalami perkembangan yang baik dan tidak mencerminkan sikap dan
perbuatan seperti orang terpelajar.
Sedangkan
untuk orang yang memiliki pendidikan rendah dan tidak memiliki fasilitas
lengkap mengalami perkembangan baik serta memiliki akhlak yang juga baik. Dari
analisa tersebut bisa dikatakan jika aliran empirisme merupakan aliran yang
mengungkapkan jika lingkungan menjadi faktor utama yang berpengaruh pada
perkembangan kognitif dan kepribadian anak dalam psikologi dan kepribadian
seseorang.
- Faktor Konvergensi
Teori konvergensi merupakan teori yang
menjembatani atau menangani kedua teori atau faham sebelumnya yang bersifat
ekstrim yakni teori nativisme dan juga teori empirisme. Teori konvergensi
merupakan teori yang mengambil jalan tengah baik faktor pembawaan atau
lingkungan sama sama berperan penting dalam proses perkembangan manusia.
Seperti
namanya, konvergensi berarti perpaduan sehingga teori ini mengartikan tidak
memihak pada salah satu teori yang mempengaruhi perkembangan psikologi perkembangan pada masa sekolah bahkan memadukan
pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan yang sama sama menjadi faktor
dominan pada perkembangan seorang manusia.
Dari
penjelasan diatas tentang aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan perkembangan
kognitif pada masa sekolah sehingga bisa disimpulkan jika faktor yang
berpengaruh pada tinggi dan rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada
dasarnya terdiri dari: Faktor intern: faktor yang ada dalam diri siswa meliputi
pembawaan dan potensi psikologis tertentu menurut perkembangan diri.
Faktor eksternal yakni faktor yang datang dari luar diri siswa meliputi lingkungan dan pengalaman khususnya lingkungan pendidikan.
Faktor eksternal yakni faktor yang datang dari luar diri siswa meliputi lingkungan dan pengalaman khususnya lingkungan pendidikan.
Fase dan
Tahap Perkembangan kognitif Pada Masa Sekolah
- Perkembangan Pra Sekolah
Dalam
implikasi psikologi perkembangan dalam pendidikan, tingkat keberhasilan belajar siswa
tidak hanya didukung atau ditentukan dari fase masa sekolah saja namun juga
didukung dengan fase sebelumnya yakni pra sekolah. Bahkan, pada saat anak masih
ada di dalam kandungan yang juga bisa mempengaruhi.
Untuk
itu, pengendalian dari orang tua harus bisa diwujudkan supaya
perkembangan anak bisa berjalan dengan baik. Syamsu Yusuf dalam bukunya,
psikologi perkembangan anak dan remaja menyatakan jika masa usia pra sekolah
tersebut bisa dibedakan menjadi dua masa yakni masa vital dan masa estetik.
· Masa Vital: Masa bayi disebut
periode vital sebab kondisi fisik serta mental bayi yang menjadi fondasi kokoh
untuk perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya. Pada masa ini, seseorang akan
memakai fungsi biologisnya untuk menemukan banyak hal di dunia.
· Masa estetik: Masa ini dianggap
sebagai masa perkembangan keindahan dan kata estetik dianggap sebagai masa
perkembangan anak yang utama yakni fungsi panca indera. Kegiatan eksploitasi
dan belajar anak juga khususnya memakai panca indera.
Perkembangan Masa Sekolah
Tingkat
Operasional Konkret 7 Hingga 12 Tahun: Fase ini adalah untuk anak di usia SD
yang disebut dengan masa sekolah rendah. Usia 7 sampai 12 tahun, sistem
kognitif yang terpadu dalam organisasi mulai berkembang. Proses berpikir tidak
lagi bersifat statis dan semua digunakan secara sadar sebagai alat pengembang
pikiran.
· Tingkat operasional formal 12 tahun
ke atas: Masa ini bertepatan dengan masa remaja yang menjadi masa transisi anak
anak ke periode dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa penting di kehidupan
seseorang khususnya pembentukan kepribadian seseorang.
3.
Identitas
Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakanre fleksi diri atau cerminan diri yang berasal
dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas
pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang
lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihati dentitas sebagai pendefinisian diri seseorang
sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap
A. Sejarah
Identitas
Identitas berawal dari teori identitas sosial yang
dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1979. Teori tersebut awalnya
dikembangkan untuk memahami dasar psikologis daridiskriminasi antar
kelompok.Tajfel dan Turner berusaha untuk mengidentifikasi kondisi minimal yang
akan membawa anggota dari suatu kelompok untuk melakukan diskriminasi terhadap
anggota kelompok lain.
B. Jenis-Jenis
Identitas
1. Identitas
Seksual
Identitas seksual mengacu pada identifikasi seseorang dengan
berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan
biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang
kita konsumsi. Program televise apa yang akan kita lihat atau majalah apa
yang akan kita baca.Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan
seseorang.
2. Identitas
Gender
Identitas gender merupakan pandangan mengenai maskulinitas
dan feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti
menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh pandangan
budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin atau lebih
feminim. Ungkapan gender tidakan yang mengkomunikasikan siapakita, tetapi
juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan
3. Identitas
Pribadi
Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang
membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas
pribadinya masing-masing sehingga tidakakan sama dengan identitas orang
lain. Pengaruh budaya juga turut mempengaruhi identitas pribadi
seseorang. Orang yang berasal dari budaya individualistis seperti Amerika
Serikat dan Eropa Barat berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan
orang lain. Sementaraitu, orang yang berasal dari budaya kolektif
cenderung menonjolkan keanggotaan mereka kepada orang lain Identitas
pribadi juga bias diartikan sebagai aturan moral pribadi atau prinsip moral
yang digunakan seseorang sebagai kerangka normatif dan panduan dalam bertindak.
4. Identitas
Agama
Identitas agama merupakandimensi yang penting dalam identitas
seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secarasosial dan budaya,
bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era moderm, identitas agama
menjad ihal yang bias dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat
lahir Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh
pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang
dipakai.
5. Identitas Nasional
Identitas nasional merujuk pada kebangsaan
seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional
mereka dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas
nasional dapat juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas
nasional biasanya menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara
lain. Orang yang identitas nasionalnya berbeda dari tempat ia dilahirkan
pada akhirnya akan mulai mengadopsi aspek identitas nasional yang
baru. Namun, hal ini tergantung pada keterikatan pada negara yang baru
tersebut. Sementara itu, orang yang secara permanen tinggal di negara lain
mungkin akan mempertahankan identitas negara tempat ia lahir.
4. Kompetensi
Pada dasarnya sekolah merupakan salah satu
sarana untuk membantu anak tumbuh optimal secara fisik, kognitif dan emosional.
Sekolah juga membantu anak dalam meningkatkan kompetensinya. Karena itu,
seharusnya para orangtua dapat lebih selektif dalam memahami tujuan. Program
belajar dan visi serta misi dari sekolah yang menawarkan jasa sehingga anak
yang disekolahkan benar-benar dapat memperoleh manfaat yang positif.
Usia Produktif Anak
Untuk Mulai Bersekolah
1. Sasaran
usia TK dan RA adalah anak usia 4-6 tahun atau usia persiapan untuk memasuki
jenjang pendidikan dasar. Sasaran KB adalah anak usia 2-6 tahun, kegiatan ini
diarahkan untuk mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin sesuai dengan
tahap tumbuh kembang anak melalui kegiatan bermain sambil belajar dan belajar
seraya bermain.
2. Sasaran
layanan TPA adalah anak usia 0-6 tahun jangka waktu anak tinggal di TPA
berkisar antara 8-10 jam perhari selama 5-6 hari perminggu. Penyelenggaraan TPA
secara umum bertujuan untuk memberikan layanan kepada anak usia 0-6 tahun yang
terpaksa ditinggal orang tuanya karena pekerjaan atau hal lain, serta
memberikan layanan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak untuk tumbuh dan
berkembang, mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, serta hak untuk
berpartisipasi dalam lingkungan sosial.
Beberapa orang menyebut fase atau masa ini
sebagai golden age karena masa ini sangat menentukan seperti apa mereka kelak
jika dewasa baik dari segi fisik, mental maupun kecerdasan. Sedangkan hakikat
anak usia dini adalah individu yang unik dimana ia memiliki pola pertumbuhan
dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosioemosional, kreativitas,
bahasa dan komunikasi yang khusus yang sesuai dengan tahapan yang sedang
dilalui oleh anak tersebut. Dari berbagai definisi, peneliti menyimpulkan bahwa
anak usia dini adalah anak yang berusia 0-8 tahun yang sedang dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.
Menurut pemahaman
psikoanalisis Erik Erikson, kompetensi yang dimiliki anak pada tahapan ke 4
(usia 6 - 12 tahun), Tahap ini berkembang di usia sekolah. Di sini, si Kecil
akan belajar bagaimana berkompetensi dalam kelompok, dengan mengembangkan 3
ketrampilan sosial, seperti:
1. Bagaimana
mematuhi aturan dan kaitannya dengan hubungan pertemanan. Misal ketika mendapat
tugas piket, bagaimana ia akan mengingatkan temannya yang terlambat tanpa
menimbulkan konflik, berpartisipasi aktif dalam tugas kelompok, dan lain
sebagainya.
2. Belajar
bagaimana bermain dengan struktur dan aturan tertentu. Misal ketika anak
bepartisipasi aktif dalam permainan kasti. Di sana ia akan belajar bagaimana
menang dengan tetap berpegang pada aturan dan kerja tim.
3. Belajar
bagaimana menguasai mata pelajaran di sekolah serta mendisiplinkan diri untuk
belajar materi tersebut.
Bila emosi-sosial anak
berkembang dengan baik, percaya dan merasa aman dengan lingkungannya, pandai
berinisiatif, maka ia akan memiliki kompetensi yang unggul dalam lingkungan
sosialnya.
Sebaliknya, si Peragu,
akan selalu merasa tidak aman, malu, selalu merasa bersalah hingga akhirnya
menjadi pribadi yang inferior (kalah).
Standar Kompetensi Anak
Usia Dini
Standar kompetensi anak
usia dini terdiri atas pengembangan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Moral dan nilai-nilai agama
2. Sosial, emosional, dan kemandirian
3. Bahasa
4. Kognitif
5. Fisik/Motorik
6. Seni
5. Hubungan
keluargadenganAnak
KeluargadenganAnakUsiaSekolahTahapinidimulaiketikaanakpertamatelahberusia
6 tahundanmulaimasuksekolahdasardanberakhirpadausia 13 tahun, awaldarimasaremaja.
Menurut Erikson (1950),
orangtuaberjuangdengantuntutangandayaituberupayamencarikepuasandalammengasuhgenerasiberikutnya
(tugasperkembangangenerasivitas) danmemperhatikanperkembanganmerekasendiri
;sementaraanak-anakusiasekolahbekerjauntukmengembangkan sense of industry –
kapasitasuntukmenikmatipekerjaan&mencobamengurangiataumenangkisperasaanrendahdiri.
Tugas perkembangan keluarga : Mensosialisasikan
anak-anak, termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan
dengan teman sebaya yang sehat, Mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan,
a.
Mensosialisasikan anak-anak, termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan
mengembangkan hubungan dengan teman sebaya yang sehat. Tahun-tahun ini dipenuhi
oleh kegiatan-kegiatan keluarga. Memperkenalkan anak kepada lingkungan rumah seperti
tetangga-tetangga. Selama tahap ini
orangtua merasakan tekanan yang luar biasa dari komunitas di luar rumah,
melalui sistem sekolah dan berbagai asosiasi di luar keluarga yang mengharuskan
anak-anak mereka menyesuaikan diri dengan standa-standar komunitas
b.
Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan Pembentukan kembali
pola-pola komunikasi yang memuaskan termasuk masalah dan perasaan pribadi,
perkawinan dan orangtua adalah sangat penting Beberapa orangtua merasa
kewalahan dengan bertambahnya tanggungjawab, khususnya mereka yang sama-sama
bekerja secara penuh. Pasanganharusterusmemenuhisetiapkebutuhan-kebutuhanpsikologisdanseksualdanjugaberbagidanberinteraksisatusama
lain dalamhaltanggungjawabsebagaiorangtua
c. Memenuhi
kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin meningkat, termasuk kebutuhan untuk
meningkatkan kesehatan anggota keluarga.
6. Hubungan Teman Sebaya
Berbagai hasil penelitian telah
menunjukkan betapa besarnya dampak jenis
pertemanan antarsebaya di kalangan anak-anak bagi kehidupan masa dewasanya di kemudian hari. Isolasi
sosial dan kehidupan masa kanak-kanak
tanpa teman sering dikaitkan dengan berbagai permasalahan yang terjadi pada masa dewasa, sebalikannya,
keberhasilan hubungan pertemanan
antarsebaya pada masa kanak-kanak sering dikaitkan dengan masa dewasa
yang lebih berhasil.
Berbagai
studi korelasional telah difokuskan pada hubungan antara pola perilaku dini anak atau status dengan
teman sebayanya dengan penyesuaian
hidupnya di kemudian hari. Studi-studi tersebut menemukan bahwa isolasi atau penolakan oleh teman
sebaya pada masa dini kehidupan anak
menempatkan anak pada resiko untuk menghadapi masalah-masalah sosial dalam kehidupannya di kemudian
hari. Kesulitan dalam hubungan dengan
teman sebaya merupakan salah satu dari
beberapa jenis permasalahan penyesuaian sosial yang dapat mengganggu kemajuan
anak dalam sekolah.
A. Hasil
Penelitian tentang Konsekuensi dari Buruknya Hubungan Teman Sebaya
1. Penelitian
oleh Gronlund, Hymel dan Asher (Ladd
& Asher, 1985) mengindikasikan bahwa antara 6 hingga 11% anak di kelas tiga hingga kelas enam
tidak mempunyai teman di kelasnya. Anak-anak ini merasa kesepian. Ladd &
Asher mengemukakan bahwa perasan kesepian merupakan satu masalah signifikan
yang dapat berakibat negatif bagi anak
kecil, baik segera maupun jangka panjang.
2. Penelitian
oleh Bullock (Bullock, 1998) menunjukkan bahwa konsep anak kecil tentang kesepian memiliki makna baginya
yang serupa dengan yang dipahami oleh
anak remaja dan orang dewasa. Bullock mengamati bahwa anak yang merasa kesepian sering tidak
memiliki hubungan sosial yang baik
dengan teman sebayanya dan oleh karenanya lebih sering menunjukkan ekspresi kesepian daripada teman sebayanya
yang mempunyai sahabat. Mereka sering
merasa dikucilkan – satu perasaan yang dapat merusak perasaan harga dirinya. Di samping itu,
mereka dapat mengalami perasaan sedih,
tidak enak badan, bosan, dan terasing. Lebih jauh, Bullock menemukan bahwa pengalaman masa kecil yang
berkontribusi terhadap perasaan kesepian
dapat memprediksi perasaan kesepian pada masa
dewasa. Akibatnya, anak yang kesepian dapat kehilangan banyak kesempatan
untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dan untuk belajar berbagai keterampilan yang penting
untuk kehidupannya kelak, terutama
keterampilan sosial. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa anak belajar
dengan memperhatikan dan meniru perilaku
teman-teman sebayanya.
B.
Fungsi Hubungan
Teman Sebaya
Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
Hartup (1992) mengidentifikasi empat fungsi hubungan teman sebaya, yang mencakup:
1)
Hubungan teman
sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk memperoleh rasa senang maupun
untuk beradaptasi terhadap stress;
2)
Hubungan teman
sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan masalah dan perolehan
pengetahuan;
3)
Hubungan teman
sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya keterampilan komunikasi
sosial, keterampilan kerjasama dan
keterampilan masuk kelompok) diperoleh atau ditingkatkan; dan
4)
Hubungan teman
sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk- bentuk hubungan lainnya
(misalnya hubungan dengan saudara kandung)
yang lebih harmonis. Hubungan teman sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah
telah terbukti dapat memperhalus
hubungan antara anak-anak itu dengan adiknya.
Hartup mengemukakan bahwa sebagai sumber
emosi, pertemanan bagi anak memberi rasa
aman untuk memasuki wilayah baru, bertemu dengan orang baru atau hal-hal baru,
dan mengatasi persoalan- persoalan baru.
Di samping itu, dengan teman sebaya, anak saling memberikan dukungan dalam mengatasi stress dan
menciptakan suasana yang menyenangkan.
Pada gilirannya, keadaan ini dapat memberikan “basis yang aman” untuk melakukan social learning lebih
lanjut dan membuat temuan- temuan baru.
Studi yang dilakukan oleh Freud dan Dann
(Ladd & Asher, 1985) terhadap enam
orang anak yatim piatu korban Perang Dunia II
menunjukkan bahwa dalam ketidakhadiran orang dewasa sebagai
pengasuh, anak mengembangkan pola
hubungan yang menyerupai hubungan orangtua- anak.
Hasil
yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Schwarz dan Ispa (Ladd & Asher, 1985) yang menunjukkan bahwa
bila anak dihadapkan pada situasi baru
atau situasi yang mungkin membahayakan, sahabat sebayanya dapat berfungsi sebagai penghibur atau penurun
ketegangan, satu fungsi yang biasanya
ditunjukkan oleh orang tuanya. Sebagai
sumber kognitif, hubungan teman sebaya memungkinkan anak untuk saling mengajari dalam banyak
situasi, dan pada umumnya kegiatan ini
efektif.
Hartup
(1992) mengidentifikasi empat jenis pengajaran
antarteman sebaya, yaitu peer
tutoring, cooperative learning, peer
collaboration dan peer modeling.
a. Peer tutoring
adalah transmisi informasi secara didaktik dari satu anak ke anak lain,
biasanya dari “ahli” kepada “pemula”.
b. Cooperative
learning adalah cara belajar yang menuntut anak untuk saling berkontribusi dalam pemecahan
masalah dan berbagi imbalannya.
c. Peer
collaboration terjadi bila semua anggota kelompok
belajar itu adalah pemula yang
bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tugas yang tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.
d. Peer modeling
adalah transmisi informasi melalui
peniruan antarteman sebaya.
7. Contoh Kasus
Seorang bocah bernisial ST (4), diduga
menjadi korban kekerasan oleh gurunya sendiri di sekolah pendidikan anak usia
dini (PAUD), yang terletak di bilangan Jalan Urip Sumoharjo, Kelurahan
Sidomulyo, Samarinda Ilir.
ST diduga mendapat tamparan di bagian
pipi hingga lebam. Curiga dengan kondisi pipi yang membiru, ibu korban
berinisial DJ, lantas menanyai anaknya.
ST mengaku, dia kerap disiksa salah satu
oknum guru di sekolahnya sejak awal tahun 2018. Pada September 2018, DJ
melaporkan kasus tersebut ke Polresta Samarinda, namun hasilnya masih berstatus
penyelidikan.
"Saya tanya anaknya, lalu saya
telusuri di sekolah. Ada yang ditutup-tutupi pihak sekolah, namun luka lebam ST
jelas karena pukulan keras di pipinya," kata DJ, Senin (12/2/2019).
Tidak terima anaknya mendapat kekerasan
di sekolah, DJ lantas membawa masalah ini ke Komisi Pelindungan Anak Indonesia
(KPAI).
"Saya sudah melaporkan kasus ini ke
Polresta Samarinda sejak September 2018. Namun, status laporan hingga hari ini
masih penyidikan. Saya bawa kasus ini ke KPAI karena ST mengidap fobia melihat
kamar mandi dengan shower," ungkap dia.
Dari pengakuan ST, lanjut dia, anaknya
itu pernah mendapat kekerasan dengan shower. Namun, DJ masih bingung, karena
hingga saat ini oknum guru terlapor masih menghilang ke luar negeri.
Komisioner KPAI, Aji Suwingyo
mengatakan, ketika sudah ada alat bukti kuat secara hukum, kasus ini bisa
ditindaklanjuti.
Tidak berhenti di Polresta Samarinda
saja, pihaknya bahkan akan segera melaporkan kasus tersebut ke Polda Kaltim.
Dalam catatan pengacara ST, Suyanlee, laporan
kasus kekerasan ini tercantum dalam dokumen rujukan polisi bernomor
LP/749/XI/2018/Kaltim/Restra Smd tanggal 27 November 2018 tentang kekerasan
anak di bawah umur.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada yang berpendapat bahwa pendidikan usia dini adalah
penting dan anak sebaiknya masuk sekolah sejak usia dini. Pendapat lain ada
yang membiarkan anak berkembang sesuai usianya dan tidak perlu sekolah, karena
usia tersebut adalah usia anak-anak senang bermain. Pada kenyataannya, dalam
banyak hal anak tidak ada yang sama. Sebagai contoh ada anak pada usia belum
genap 2 tahun sudah merengek minta sekolah, karena melihat kakaknya setiap hari
berangkat sekolah. Ada juga anak pada usia yang sama yang hanya butuh makan dan
aktifitas fisik seperti bermain di luar, sama sekali tidak tertarik sekolah.
Seperti kita ketahui bersama masing-masing anak mempunyai karakter,
perkembangan dan lingkungan yang berbeda. Tidak ada teori yang menyebutkan
dengan tepat dan sempurna untuk menentukan kapan anak mulai sekolah. Semua
tergantung kesiapan anak.
Tahap sekolah adalah tahap dimana anak mengembangkan diri
baik secara fisik, motorik, maupun kognitif. Tidak ada yang tahu pasti kapan
usia anak yg tepat untuk masuk ke tahap sekolah karena setiap anak memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang berbeda.
Pada tahap sekolah terdapat beberapa perubahan yang terjadi
pada anak baik dari sisi fisik maupun psikis. Perkembangan kognitif anak pun
bisa menjadi faktor penting dalam hal tumbuh berkembang anak, ada 3 faktor yang
mempengaruhi kognitif anak diantaranya faktor nativisme, empirisme, dan
konvergensi. Selain kognitif, pada tahap sekolah anak akan mengalami
perkembangan pada identitas dirinya, kompetensi, hubungan keluarga dan anak,
serta hubungannya dengan teman sebaya.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar